
Patani – 05 Januari 2022, genap 18 tahun Undang-undang Darurat Militer mulai digunakan di tiga wilayah Selatan Thailand. Undang-undang ini berkuatkuasa ketika pemerintahan Thaksin Shinawatra yang merupakan seorang polisi pada waktu itu.
Sesuai dengan namanya, undang-undang darurat seharusnya digunakan ketika dalam “keadaan darurat” dan keadaan kecemasan yang membawa kemudaratan kepada rakyat dan negara. Namun, hal ini berbeda di Narathiwat, Yala, Pattani dan sebagian daerah Songkhla. Pemerintah Thailand telah mengambil kesempatan dengan menangkap rakyat sipil Patani dan menembak mereka tanpa apa-apa alasan. Undang-undang ini telah memberi wewenang secara berlebihan kepada pihak militer. Dengan kata lain, mereka memiliki kekuasaan sendiri untuk mencari dan menangkap rakyat sipil serta mengadili mereka untuk diselidiki hingga 30 hari.
Berbagai penindasan dan penyiksaan telah dilakukan, seperti mencabut kuku, menenggelamkan kepala ke dalam air sehingga tidak bisa bernafas, membiarkan tersangka dibawah terik panas matahari berdiri tanpa seurat benang di badan, menyetrum listrik ke tubuh tersangka, menutup kepala dengan plastik hitam, menusuk besi atau jarum ke dalam anggota badan tersangka seperti di jari dan kemaluan, bahkan penyiksaan ini membawa kepada maut. Hal ini cukup jelas telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat Patani.
Setelah penerapan undang-undang ini, statistik menunjukkan jumlah kematian disebabkan konflik di Patani sudah mencecah lebih dari 7,000 jiwa dan jumlah cedera luka mencecah 13,000 jiwa pada Desember 2021. Setiap kekerasan yang dilakukan sangat memberi kesan yang dalam bagi masyarakat Patani. Anak kecil tanpa belaian seorang ayah dan wanita janda tanpa suami harus bekerja keras mencari penghasilan demi sesuap nasi.
Adanya undang-undang ini telah membawa kegelisahan dalam hati masyarakat Patani. Bahkan menyebabkan konflik di Patani bertambah buruk. Dampaknya bukan saja terhadap politik, bahkan ekonomi rakyat Patani juga terjejas.
Editor: Medan