Patani – Pada tanggal 31 Agustus 2022 pukul 04:00 pagi waktu setempat terjadi penangkapan seorang aktivis pemuda Patani yang bernama Anas Idris di tempat kediamannya, Jalan Sirorot, Gang 14, Kedai lama, Daerah Mueang, Wilayah Yala. Dia sendiri merupakan aktivis yang sering terlibat dalam kegiatan kepemudaan Patani. Beberapa diantaranya saat ikrar pemuda pada tanggal 4 Mei 2022, terakhir dia menjadi pembawa acara festival untuk menyambut Tahun Baru Islam 1444 H di Kantor Dewan Pusat Agama Islam Provinsi Yala. Dia sendiri merupakan mahasiswa di Kolej Islam Syekh Daud Al-Fathani Yala.
Dikabarkan bahwa dia ditangkap oleh aparat pemerintah Thailand. Hal itu disinyalir akibat dari aktivitas Anas Idris sendiri yang dianggap oleh pemerintah Thailand telah mengancam kepentingan keamanan pemerintah Thailand. Thailand sendiri dalam Kurun waktu 20 tahun terakhir sering terjadi konflik antara aktivis di Thailand Selatan (Patani, Narathiwat, Yala, Setul dan sebagian dari wilayah Songkhla) dengan pemerintah Thailand. Sehingga kejadian pengkapan seperti ini bukanlah kejadian pertama kali. Pemerintah Thailand selalu menggunakan nasari “keamanan nasional” untuk membungkam para aktivis yang sebenarnya aktivitas yang dilakukan semata-mata hanya untuk melestarikan budaya setempat. Apakah ini wujud kekhawatiran dari pemerintah Thailand mengenai kebangkitan rakyat Melayu yang notabenenya adalah minoritas di Negara Thailand ?
Untuk menyelesaikan konflik di Thailand Selatan, pemerintah Thailand sering kali mengadakan rundingan dengan otoritas setempat. Akan tetapi, fenomena seperti di atas menunjukkan bahwa ketidak profesionalan pemerintah Thailand dalam menangani konflik. Penangkapan tak beralasan para aktivis di Thailand selatan justru menjadi kesalahan fatal pemerintah Thialand mengakibatkan perundingan 20 terakhir hanya sia-sia (tanpa muafakat). Dalam hukum internasional kejadian semacam ini disebut sebagai SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yaitu suatu gagasan hukum yang bertujuan untuk melemahkan serta menekan partisipasi mengenai klaim publik terhadap rezim pemerintah.
Pada saat proses perundingan berlangsung dan sedang menuju ke arah penyelesaian konflik melalui jalur politik, kemudian dapat meningkatkan patisipasi publik dalam upaya mendorong proses perdamaian secara signifikan. Di sisi lain, kesempatan dalam menyampaikan pendapat belum dibuka sesuai yang diharapkan. Menurut konstitusi yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi secara setara, tanpa membedakan warna kulit, kepercayaan, kebangsaan, agama, dan budaya.
Jadi, berdasarkan fenomena yang sering terjadi seperti halnya di atas, timbul rasa harapan besar agar otoritas petinggi pihak ASEAN atau pun PBB memandang fenomena ini bukan hal sepele melainkan satu krisis harus diselesaikan secepatnya agar tidak menimbulkan korban, baik dari masyarakat setempat maupun pemerintah Thailand sehingga dikhawatirkan krisis semacam ini seperti bola salju yang mengglinding semakin hari semakin membesar.**/SM